Thursday, May 26, 2011

Pura Pucak Mangu, Pelaga

Pura Pucak Mangu adalah Pura Kahyangan Jagat dengan dua fungsi yaitu sebagai Pura Catur Loka Pala dan Pura Padma Bhuwana. Pura Catur Loka Pala adalah empat pura sebagai media pemujaan kepada Tuhan yang melindungi empat penjuru Bhuwana Agung. Pura Pucak Mangu di arah utara, arah selatan Pura Andakasa, arah timur Pura Lempuyang Luhur dan arah barat Pura Luhur Batukaru. Demikian dinyatakan dalam Lontar Usada Bali.


Pura Padma Bhuwana itu adalah sembilan pura yang berada di sembilan penjuru Bali sebagai lambang Padma Bhuwana yaitu simbol alam semesta atau Bhuwana Agung. Pura Pucak Mangu sebagai Pura Padma Bhuwana berada di arah barat laut tempat memuja Tuhan dalam manifestasinya sebagai Batara Sengkara -- dewanya tumbuh-tumbuhan.

Di Pura Pucak Mangu beliau dipuja di Meru Tumpang Lima dengan sebutan Batara Pucak Mangu dengan upacara piodalan-nya setiap Purnamaning Sasih Kapat. Sedangkan upacara melastinya ke Pesiraman Pekebutan yang terletak di Desa Bukian di sebelah timur Desa Plaga.

Pura Pucak Mangu memiliki dua Pura Penataran yaitu Pura Penataran di Ulun Danu Beratan di Kabupaten Tabanan dan Penataran di Desa Tinggan Kecamatan Petang Kabupaten Badung. Pura Penataran Tinggan terletak di Desa Tinggan Kecamatan Petang Kabupaten Badung ini didirikan pada tahun 1752 Saka atau 1830 Masehi oleh Cokorda Nyoman Mayun.

Di Pura Penataran Tinggan ini terdapat beberapa pelinggih pokok yaitu Meru Tumpang Sebelas pelinggih Batara Pucak Mangu. Meru Tumpang sembilan pelinggih Batara di Teratai Bang, Meru Tumpang Tiga pelinggih Batara di Pucak Bon, Gedong dengan lima ruang (sejenis Pelangkiran) pelinggih Batara di Pucak Sangkur, Padma Rong Tiga untuk Pengubengan, Padmasana sebagai Surya pelinggih Saksi.

Dengan dibangunnya Pura Penataran Tinggan ini sehingga Pura Pucak Mangu memiliki dua Pura Penataran. Pura Penataran yang pertama didirikan oleh I Gst. Agung Putu yang setelah menjadi Raja Mengwi pertama bergelar Cokorda Sakti Blambangan. Penataran Pura Puncak Mangu yang pertama didirikan tahun 1555 Saka atau tahun 1633 Masehi di tepi Danau Beratan karena itu disebut juga Pura Ulun Danu Beratan. Pura ini berada di sebelah Pura Dalem Purwa.

Di Pura Penataran pertama ini Ida Batara Puncak Mangu distanakan di Pelinggih Meru Tumpang Tiga, pelinggih ini juga disebut Pelinggih Lingga Petak, karena di bawah Meru itu dijumpai batu putih sebesar manusia diapit oleh batu hitam dan batu putih. Ada juga Meru Tumpang Pitu sebagai Pesimpangan Batara Teratai Bang. Meru Tumpang Sebelas sebagai Pelinggih Batara Ulun Danu atau disebut Batara Tengahing Segara.

Penataran Pura Pucak Mangu yang kedua didirikan tahun 1752 Saka atau tahun 1830 Masehi oleh Cokorda Nyoman Mayun. Hal ini disebabkan pada tahun tersebut Kerajaan Mengwi mengalami kemunduran. Puri Marga menguasai daerah di sekitar Danau Beratan pernah tidak patuh dan bermasalah dengan Kerajaan Mengwi.

Karena itu anggota kerajaan dan masyarakat Mengwi mengalami kesulitan kalau ingin sembahyang ke Pura Penataran di Ulun Danu Beratan. Karena itu Raja memutuskan untuk membangun Pura Penataran Pucak Mangu di Desa Tinggan. Hal itulah yang menyebabkan Pura Pucak Mangu memiliki dua Pura Penataran.
Sejarah Pura Pucak Mangu

Catatan tertulis secara akurat mengenai keberadaan Pura Pucak Mangu sangatlah minim. Hanya ada beberapa petikan lontar yang memuat tentang keberadaan pura ini dan itupun samar. Namun catatan para orang leluhur orang Bali sangat berarti bagi kehidupan masa sekarang dalam rangka mencermati keberadaan pura-pura di pulau Bali yang banyaknya ribuan. 

Pura Pucak Mangu sudah ada sejak zaman budaya megalitikum berkembang di Bali dengan bukti diketemukannya peninggalan Lingga yang cukup besar. Di tempat inilah I Gusti Agung Putu, pendiri Kerajaan Mengwi, melakukan tapa brata mencari keheningan pikiran setelah kalah dalam perang tanding. I Gusti Agung Putu pun menemukan jati dirinya dan bangkit lagi dari kekalahannya, terus dapat meraih kemenangan sampai dapat mendirikan Kerajaan Mengwi. Di tempat I Gusti. Agung Putu bertapa brata itulah Pura Pucak Mangu kembali dipugar dan dikembangkan sesuai dengan kebutuhan umat Hindu yang terus berkembang. 

Puncak Gunung Mangu ini memang sangat hening untuk melakukan tapa brata untuk perenungan diri seperti yang pernah dilakukan oleh I Gusts. Agung Putu. Menurutnya, kegagalan bukan untuk disesali dan berputus asa, tetapi untuk dijadikan pengalaman serta diambil hikmahnya untuk pelajaran diri selanjutnya. Dengan cara itulah kegagalan dapat diubah menjadi awal kesuksesan.


Dalam peta Pulau Bali nama Gunung Mangu hampir tidak dikenal. Mungkin karena Gunung Mangu ini tidak begitu tinggi. Namun kalau kita baca lontar tentang Pura Kahyangan Jagat, nama Gunung Mangu ini akan mudah diketemukan. Nama Gunung Mangu ini disebutkan dalam Lontar Babad Mengwi. 


Leluhur Raja Mengwi yang bernama I Gusti Agung Putu kalah secara kesatria dalam pertempuran melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dari Puri Kekeran. Karena kalah I Gusti Agung Putu ditawan dan diserahkan kepada I Gst. Ngurah Tabanan sebagai tawanan perang. Oleh seorang patih dari Marga bernama I Gusti Bebalang meminta kepada I Gusti Ngurah Tabanan agar dibolehkan mengajak I Gusti Agung Putu ke Marga. Setelah di Marga inilah timbul niatnya I Gusti Agung Putu ingin membalas kekalahannya dengan cara-cara kestria kepada I Gusti Ngurah Batu Tumpeng.
 

Sebelum membalas kekalahannya, I Gusti Agung Putu terlebih dahulu bertapa di puncak Gunung Mangu tempat Pura Pucak Mangu sekarang. Di puncak Gunung Mangu inilah I Gusti Agung Putu mendapat pawisik keagamaan dengan kekuatan magis religius. Setelah itu I Gusti Agung Putu kembali menantang I Gusti Ngurah Batu Tumpeng bertempur. Berkah hasil tapanya di Gunung Mangu itulah I Gusti Agung Putu meraih kemenangan melawan I Gusti Ngurah Batu Tumpeng dan musuh-musuhnya yang lain.

Gunung Mangu ini terletak di sebelah timur laut Danau Beratan. Gunung ini juga bernama Pucak Beratan, Pucak Pengelengan, dan Pucak Tinggan. Orang dari Desa Beratan menyebut gunung tersebut Pucak Beratan. Sedangkan orang yang dari Desa Tinggan menyebutnya Pucak Tinggan. Karena umat di Desa Tinggan-lah yang ngempon aci-aci di Pura Pucak Mangu tersebut.
 

Nama Pucak Pengelengan menurut penuturan keluarga Raja Mengwi bahwa saat I Gusti Agung Putu bertapa di Pucak Mangu, Batara Pucak Mangu menulis (ngerajah) lidahnya. Setelah itu I Gusti Agung Putu disuruh ngelengan (melihat keseliling). Mana daerah yang dilihat dengan terang itulah nanti daerah kekuasaannya. Karena itulah Pucak Mangu ini juga disebut Pucak Pengelengan.

Di Pucak Mangu ini terdapat sebuah pura dengan ukuran 14 x 24 meter. Di dalamnya ada beberapa pelinggih dan bangunan yang bernilai sejarah kepurbakalaan. Yaitu sebuah Lingga, dengan ukuran tinggi 60 cm dan garis tengahnya 30 cm. Bahannya dari batu alam lengkap dengan bentuk segi 4 (Brahma Bhaga), segi delapan (Wisnu Bhaga) dan bulat panjang (Siwa Bhaga).
 

Menurut para ahli purba kala, Lingga ini sezaman dengan dengan Lingga di Pura Candi Kuning. Para ahli memperkirakan penggunaan Linga dan Candi sebagai media pemujaan di Bali berlangsung dari abad X – XIV. Setelah abad itu pemujaan di Bali menggunakan bentuk Meru dan Gedong. Kapan tepatnya Pura Pucak Mangu ini didirikan belum ada prasasti atau sumber lainnya dengan tegas menyatakannya. 

Dari cerita keluarga Raja Mengwi konon ketika I Gusti Agung Putu akan bersemadi di gunung ini menjumpai kesulitan karena hutannya sangat lebat. Setelah beliau berusaha ke sana-ke mari lalu beliau mendengar suara tawon. I Gusti Agung Putu pun menuju suara tawon itu. Ternyata di tempat suara tawon itu dijumpai reruntuhan pelinggih termasuk Lingga tersebut. Setelah itu, kemungkinan pura ini dipugar oleh I Gusti Agung Putu setelah beliau berhasil menjadi Raja Mengwi serta mendirikan Pura Penataran-nya di tepi Danau Beratan. 


Nampaknya sampai abad XVIII pelinggih utama di Pura Pucak Mangu adalah Lingga Yoni saja dan bangunan pelengkap lainnya. Setelah pemerintahan I Gst. Agung Nyoman Mayun yang bergelar Cokorda Nyoman Mayun melengkapinya dengan pendirian Meru Tumpang Lima linggih Batara Pucak Mangu. Meru Tumpang Tiga linggih Batara Teratai Bang dan Tepasana tempat Lingga.
 

Ada juga dibangun Padma Capah sebagai Pengubengan, Pelinggih Panca Resi yang mempunyai lima ruangan yang menghadap ke empat penjuru dan sebuah ruangan berada di tengah, dan bangunan lainnya. Menurut Babad Mengwi, atas perintah Cokorda Nyoman Mayun-lah Pura Penataran Tinggan didirikan tahun Saka 1752 atau 1830 Masehi. Mungkin zaman dahulu menuju ke Pura Penataran Ulun Danu Beratan masih sulit karena keadaan alamnya. Hal itulah barang kali menyebabkan Pura Pucak Tinggan memiliki dua Pura Penataran. 

Sampai tahun 1896, saat runtuhnya Kerajaan Mengwi tidak ada tercatat dalam sejarah bahwa Pura Pucak Mangu direstorasi. Tahun 1927 akibat gempa yang dhasyat Pura Pucak Mangu ikut runtuh. Pura tersebut baru direstorasi tahun 1934 – 1935. Tahun 1978 terjadi angin kencang lagi yang merusak pelinggih dan bangunan lainnya. Pada tahun itu juga pura tersebut direstorasi kembali.


Letak Geografis


Pura Pucak Mangu terletak di Kabupaten badung sekitar 40 km dari Denpasar yang beriklim normal, curah hujan rata-rata 2135mm pertahun dengan temperature rata-rata 24,2 derajat celcius. Kelemababan rata-rata 92,5 %, dan tekanan rata-rata 1009,6 mm bar dengan penyinaran 65%. Untuk pelestarian maupun pengembangan budi daya kawasan, angka-angka klimatologi sangat diperlukan sebagai dasar kajian analisisnya dari berbagai aspek fisis, chemis dan ekologinya. 


Pemilihan lokasi pura, pemukiman pedesaan, lahan pertanian dan lahan kehidupan lainnya berbeda dengan nalar sain dan teknologi yang kini dikembangkan. Perwujudan berbentuk arsitektur, pemakaian bahan dan pertimbangan orientasi, dimensi, orientasi, proporsi dan komposisi juga sirkulasi dan sirkulasi dan prosesi. Dan itu juga didasarkan pada angka-angka basement geografi, iklim, geologi, hidrologi dan topografi bentang alam dari lokasi terpilih.


Upacara di Pura Pucak Mangu


Upacara di Pucak Mangu dilakukan dua kali setahun. Pada Purnama Sasih Kapat dilakukan upacara piodalan baik di Pura Pucak Mangu maupun di Pura Penataran Tinggan. Sedangkan Purnama Sasih Kapitu dilakukan upacara Ngebekin di kedua pura tersebut. Upacara piodalan dan upacara ngebekin di Pura Pucak Mangu diselenggarakan oleh delapan kelompok pemaksan yaitu Tinggan, Plaga, Bukian, Kiadan, Nungnung, Semanik, Tiyingan dan Auman. Delapan pemaksan inilah yang membantu Puri Mengwi untuk melaksanakan kedua upacara pokok tersebut.

Di samping upacara piodalan setiap tahun juga diadakan upacara Ngebekin. Fungsi upacara 
Ngebekin adalah sebagai sarana pemujaan kepada Tuhan sebagai Dewa Sangkara untuk memohon agar hasil tumbuh-tumbuhan terutama padi dapat berhasil dengan baik. Dewa Sangkara adalah manifestasi Tuhan sebagai penjaga tumbuh-tumbuhan. Banten pokok dalam upacara Ngebekin yakni Banten Sorohan Pelupuhan.

Upacara Ngebekin ini tujuannya adalah memohon Tirtha Ngebekin. Umat dari delapan kelompok pemaksan setiap upacara Ngebekin membawa sujang yaitu potongan bambu yang masih hijau sebagai tempat tirtha.

Tirtha Ngebekin ini tidak boleh digunakan untuk nyiratang atau diminumkan kepada manusia. Tirtha Ngebekin itu hanya untuk kasiratang (dicipratkan) kepada sawah ladang dan tumbuh-tumbuhan pertanian. Tirtha Ngebekin itulah sebagai simbol penyucian dan pemeliharaan segala tumbuh-tumbuhan pertanian sebagai sumber hidup umat manusia.

Upacara Ngebekin ini intinya tidak berbeda dengan upacara memandikan Lingga Yoni dalam sistem Siwa Pasupata. Air dengan berbagai perlengkapannya yang dijadikan sarana memandikan Lingga itu menjadi tirtha untuk memercikan tumbuh-tumbuhan di sawah ladang simbol mohon kesuburan. Upacara memandikan Lingga inilah dilanjutkan dengan istilah upacara Ngebekin dalam sistem Siwa Sidhanta. Meski demikian, keberadaan Lingga di Pura Pucak Mangu tetap dipertahankan di Pelinggih Tepasana. Yang menarik di sini adalah banten utama yang digunakan di Pura Pucak Mangu adalah Banten Pelupuhan Bebek.

Banten-banten yang dipersembahkan ke Pura Pucak Mangu tidak boleh menggunakan daging babi. Kecuali kalau ada perbaikan pura terus dilangsungkan upacara Ngeruwak barulah banten Ngeruwak itu saja yang boleh menggunakan guling babi. Sedangkan di Pura Penataran Tinggan dipergunakan Banten Pelupuhan Babi. 

Banten Pelupuhan Babi ini menggambarkan cerita Batara Wisnu turun mencari pangkal Lingga ke bawah dengan menjadi babi hitam. Terus ketemu dengan Dewi Wasundhari. Dari pertemuan itu lahirlah Boma. Dewa Wisnu simbol air dan Dewi Wasundhari simbol pertiwi. Pertemuan air dan pertiwi melahirkan Boma. Kata Boma dalam bahasa Sansekerta artinya pohon. Canakya Niti menyatakan bahwa air, tumbuh-tumbuhan, dan kata-kata bijak adalah tiga ratna permata bumi. Kalau tiga hal ini diutamakan oleh manusia maka kehidupan sejahtera itu pasti dicapai. 

Potensi Pura Pucak Mangu
 

Adapun potensi yang dimilki oleh Pura Pucak Mangu adalah sebagai berikut :

a. Struktur Bangunan


Pura Pucak Mangu termasuk salah satu kayangan jagat di Bali yang didirikan sekitar tahun 1555 Isaka atau tahun 1633 dengan dua fungsi yaitu sebagai Pura Catur Loka Pala dan Pura Padma Bhuwana. Pura Pucak Mangu seperti layaknya pura pada umumnya di Bali struktur bangunannya didasarkan pada konsep tri mandala yang terdiri dari tiga halaman yaitu jaba sisi ( halaman luar), jaba tengah ( halaman tengah ) dan jeroan ( halaman dalam ) dengan struktur bangunan khas Bali. 


Palebahan pura yang paling timur adalah sthana Ida Bhatari Danu atau dikenal dengan Lingga Petak berupa Meru Tumpang Tiga, dimana di bawahnya terdapat batu berwarna merah putih dan hitam. Yang putih berukuran paling besar. Itulah sebabnya disebut Lingga Petak atau Lingga Putih.


Selanjutnya palebahan di sebelah baratnya berupa Meru Tumpang Sebelas sebagai sthana Ida Bhatara Pucak Mangu. Kedua palebahan ini sedikit terpisah dengan palebahan ketiga dan keempat yang berada di daratan. Palebahan ketiga yang paling luas adalah tempat banyak bangunan suci dengan pelinggih utama berupa Meru Tumpah Tujuh sthana Ida Bhatara Terate Bang. Di tempat ini juga ada Padmasri sebagai sthana Ida Bhatara Pucak Sangkur dan sebuah Padma Tiga sebagai sthana Tri Purusa. 


Palinggih yang lain adalah jajaran kamiri yang terdiri dari : Padmasana, Sanggah Kamulan Rong Tiga, Taksu Agung, Meru Tumpang Tiga, Gedong Manjangan Saluang, Gedong beratap pane, lima buah gedong lainnya, sejumlah balai yakni Bale Pasamuan Agung, Bale Paruman Alit, Bale Papelik, Bale Penyucian, Bale Gong dan Bale Kulkul. Sedangkan palebahan keempat berada di jabaan palebahan terbesar sebagai sthana Ida Bhatara Dalem Purwa.


b. Adat-istiadat


Upacara di Pucak Mangu dilakukan dua kali setahun. Pada Purnama Sasih Kapat dilakukan upacara piodalan baik di Pura Pucak Mangu maupun di Pura Penataran Tinggan. Sedangkan Purnama Sasih Kapitu dilakukan upacara Ngebekin di kedua pura tersebut. Upacara piodalan dan upacara ngebekin di Pura Pucak Mangu diselenggarakan oleh delapan kelompok pemaksan yaitu Tinggan, Plaga, Bukian, Kiadan, Nungnung, Semanik, Tiyingan dan Auman. Delapan pemaksan inilah yang membantu Puri Mengwi untuk melaksanakan kedua upacara pokok tersebut. Setiap mengadakan upacara silakukan biasanya diiringi dengan tari-tarian sakral seprti rejang dewa, Baris gede, wayang lemah.


c. Potensi Flora


Pura Pucak mangu terletak di kawasan pegunungan hutan lindung yang kelestariannya masih bisa di pertahankan. Pura ini terletak di kawasan puncak dengan ketinggiam 2.020 meter di atas permukaan laut. Kesuburan dan kandungan hidrologi dari struktur geologi menentukan jenis flora yang tumbuh di kawasannya sebagai habitat sesuai dengan keperlaun hidupnya. Adapun pohon-pohon yang masih dipertahankan terutama di jalur lintasan setapak dan dijadikan taman hutan wisata adalah sebagai berikut seprti anggrek, talas sembung, tedted, paku jukut (sayur), buyung-buyung, uyah-uyah, layah bebek dan berbagai jenis tumbuhan jalar dan juga tumbuhan lekat dari pohon tinggi termasuk tanaman kopi, cengkeh, mangga dan tumbuhan buah-buahan lainnya.


d. Potensi Fauna
 

Pura Pucak Mangu juga melindungi beberapa fauna langka yang masih bisa bertahan sampai sekarang diantaranya keker kiuh, kurkurtekukur, punaan, titiran, perit bondol, belatuk, becica sesapi, lubak, bukal dan semal.  


*Sumber : http://smart-pustaka.blogspot.com/search/label/Seni%20Budaya*  

No comments:

Post a Comment