Lukisan berjudul "The Persistence of Memory" karya Salvador Dali. (dok.ist.)
“Lalu waktu, bukan giliranku…” –Amir Hamzah.    
TANGGAL cantik. Seperti nomor cantik telepon genggam, tanggal cantik dipilih orang agar lebih mudah diingat.
Tapi, sejatinya, apakah tanggal? Apakah waktu?
Waktu sejatinya dimulai saat alam tercipta hingga alam beserta  seisinya berakhir. Di antara awal dan akhir zaman, manusia hidup di  dalamnya. Dalam rentang hidup manusia ada awal dan juga akhir. Ada  kelahiran ada kematian.
Masalah kematian dianalisa oleh Martin Heidegger dalam
 Sein und Zeit (
Being and Time). Setiap bayi lahir sudah berada di jalan kematian. Eksistensi manusia dapat didefinisikan sebagai 
Sein-zum-Tode,  ada–menuju-kematian. Heidegger melihat peran positif dari  kematian.Heidegger mengajarkan justru kematian yang memungkinkan  kehidupan memiliki makna.
Dari filsafat eksistensilisme Heidegger diperoleh pandangan jika  manusia tidak mati, dengan kata lain abadi, maka apa yang dilakukan  menjadi ditunda bahkan tak penting lagi karena manusia punya waktu  selamanya.
Tapi tentu, kenyataannya tak begitu. Dalam rentang waktu hidup manusia yang terbatas, manusia ingin hidupnya berarti.
Dari  pemahaman ini manusia membagi-bagi waktu untuk mengatur hidupnya dan  mengusai sekitarnya: ada satuan-satuan yang mudah dihitung, ada musim,  tahun, bulan, hari, jam, detik.
Di antara waktu yang sudah dibagi-bagi itu ada tanggal cantik tadi,  tanggal yang mudah diingat. Kita kemudian memaknai tanggal cantik  seolah-olah menjadi hal yang istimewa. Saya bilang seolah-olah karena  toh sebetulnya tak ada sesuatu yang luar biasa di hari itu.
Saat kita tadi melewati pukul 11.11 pada tanggal 11 bulan 11 tahun  2011, misalnya, tak terjadi hal luar biasa seperti kita melewati sebuah  gerbang atau semacamnya. Waktu berjalan biasa saja. Kecuali timeline  Twitter saya ramai orang menyebut deret angka itu (termasuk tweet saya).  Andai saya tak mengecek arloji, saya mungkin pasti melewatkannya begitu  saja.
Kalau ditilik dari mana bermula segala kegaduhan tanggal cantik ini  rasanya dimulai pada 1999. Waktu itu orang mulai sadar untuk merayakan  tanggal cantik 9 September 1999 alias 9-9-99. Waktu itu, sama seperti  hari ini juga, banyak yang merayakannya. Entah lewat pernikahan, maupun  sebuah peringatan kalau tanggal 9-9-99 kiamat bakal datang.
Nyatanya tidak. Akhir zaman tak terjadi di tanggal itu. Waktu tak  berhenti. Kita kemudian menemui lagi tanggal-tanggal cantik berikutnya.  Bisa dipastikan, saat tanggal cantik banyak orang menikah. Rumah sakit  bersalin lebih ramai karena banyak orangtua minta bayi mereka lahir di  tanggal cantik.
Fenomena apa ini?
Waktu yang sebetulnya berjalan seperti apa adanya dimaknai  macam-macam oleh manusia. Diberi imaji dan ilusi. Waktu diberi tanda  agar memiliki arti bagi manusia yang menjalaninya. Dalam rentang masa  hidup manusia yang terbatas, manusia ingin memiliki waktu.
Imaji dan ilusi ini kemudian dilanggengkan kapitalisme mutakhir.  Kuasa modal pada akhirnya memaknai tanggal cantik juga untuk menangguk  untung. Tengok saja, calon pengantin yang ingin menikah di tanggal  cantik pasti lebih susah mencari gedung resepsi pernikahan. Kamar  bersalin rumah sakit jadi laris manis.
Dengan jenius industri memanfaatkan rasa haus manusia memaknai waktu.  Tengok saja, bukankah setiap momen pergantian tahun dirayakan dengan  gegap gempita di hotel, mal, kafe, atau entah di mana lagi. Orang seakan  harus keluar rumah merayakan pergantian tahun. Yang tak keluar rumah,  merasa perlu menonton TV hingga larut menyaksikan acara-acara soesial  malam tahun baru. Padahal, jika kita ketiduran lalu melewatkan malam  tahun baru, apa ada yang berbeda?
Tidak. Matahari masih terbit dari timur, terbenam di barat.
“Lalu waktu, bukan giliranku…,” tulis penyair Amir Hamzah dalam sajak  “Padamu Jua”, beberapa tahun sebelum ia mati dibunuh. Syair itu bisa  diartikan kesadaran manusia akan hidup yang fana.
Ah, demikian terobsesikah kita pada waktu karena kita tak punya banyak waktu?
(ade/ade)
*Sumber :http://www.tabloidbintang.com/extra/lensa/17746-mengapa-banyak-yang-merayakan-tanggal-cantik.html*