Yang hendak saya katakan bukan ingin menafikan bahwa marketing lewat social media tidak lagi perlu, tapi rasanya kita harus lebih bijak menyikapinya.
Alkisah, belum lama ini, saya menghadiri diskusi buku tentang kondisi perfilman Indonesia di Universitas Bina Nusantara, Senayan, Jakarta. Salah satu pembicaranya adalah produser Sang Penari.
Selain membongkar kondisi carut-marut perfilman Indonesia saat ini, sang produser membeberkan fakta menarik: jumlah penonton Sang Penari tidak sesuai dengan harapan, padahal filmnya terbilang heboh di Twitter.
“Saya cek setiap 2 menit ada mention ke akun Twitter Sang Penari, tapi jumlah penontonnya begitu-begitu saja,” ungkapnya.
Saat jumpa pers filmnya, dengan optimis sineasnya menargetkan Sang Penari ditonton 1 juta orang. Nyatanya, saat mengecek ke pengamat film Yan Widjaya yang aktif menghitung jumlah penonton bioskop, Sang Penari ditonton 100 ribuan orang saja.
Cerita lain, Senin (26/12) kemarin, Laskar Pelangi: The Series tayang perdana di SCTV. Kita tahu, Laskar Pelangi diangkat dari novel best seller dan versi filmnya ditonton 4,5 juta pasang mata dan jadi film Indonesia dengan penonton paling banyak hingga saat ini.
Versi serialnya mendapat sambutan hangat di Twitter. Saat serialnya tayang, Senin sore, banyak pengguna Twitter menyebut “Laskar Pelangi” dalam tweet mereka. Hasilnya, “Laskar Pelangi” sempat menjadi trending topic world wide di Twitter. Meski jadi trending topic world wide, rating Laskar Pelangi tak lantas nomor wahid. Berdasarkan data AGB Nielsen (ALL) pada Senin (26/12), Laskar Pelangi: The Series menempati posisi 18 dengan TVR 2,5 dan share 11,7. Yang nomor wahid sinetron Binar Bening Berlian (RCTI) diikuti Tutur Tinular (Indosiar).
Sebelum menganalisis lebih jauh, mari bicara data. Saat ini, dari 237 juta penduduk Indonesia baru 17 persen terkoneksi dengan Internet (sekitar 40 juta jiwa). Bagaimana dengan Twitter?
Dari seluruh tweet di dunia, Indonesia menyumbang 15 persen kicauan, di bawah Brasil (27 persen) dan Amerika Serikat (25 persen). Kita berada di atas Inggris dan Belanda. Saat ini pengguna Twitter di Indonesia lebih dari 5 juta orang.
Dalam hitungan kasar, jika mengacu respon di Twitter, mestinya Sang Penari meraih lebih banyak penonton karena selalu diomongkan lewat Twitter. Begitu juga Laskar Pelangi, mestinya rating program itu lebih tinggi dari sekadar posisi 18.
Jika kemudian nyatanya penonton Sang Penari dan Laskar Pelangi tak sesuai harapan, apa yang sebetulnya terjadi?
Sebuah tulisan di majalah The Economist mengungkap fakta betapa situs social media begitu populer di Indonesia, tapi di saat bersamaan belum banyak yang bisa diambil untung dari situ ("Eat, Pray, Tweet", The Economist, 6 Januari 2011). Dikatakan majalah itu, Facebook dan Google meraih banyak uang dari Amerika Utara dan Eropa dari iklan, tapi sulit meraih kue iklan sejenis dari Indonesia. Penyebabnya, belum banyak orang Indonesia menggunakan kartu kredit atau bahkan punya rekening di bank. Akibatnya, hanya sedikit orang Indonesia yang klik iklan dan membeli sesuatu di online shop. Belanja online belum jadi kebiasaan yang umum di sini. Seorang wartawan senior rubrik iptek Koran Tempo pernah menulis, kue iklan online Indonesia baru sekitar 2 persen dari belanja iklan.
Fakta di atas menunjukkan, walau aktif berselancar di dunia maya, tak lantas membuat orang Indonesia aktif bergerak di dunia nyata. Bagi kebanyakan orang Indonesia, Internet masih sebatas dipakai mencari informasi, atau sekarang, tempat berbagi curahan hati dan ajang narsis.
Beberapa bulan sebelum muncul revolusi di Mesir yang disebut-sebut sebagai “Revolusi Tweeps” karena berawal dari Twitter, penulis majalah New Yorker Malcolm Gladwell mencatat revolusi semacam di Mesir itu tidaklah berasal dari situs jejaring sosial macam Facebook dan Twitter (“Small Change”, New Yorker, 4 Oktober 2010).
Social media dibangun atas dasar ikatan yang lemah, catat Gladwell. Twitter mendasarkan pada mengikuti (follow) atau diikuti orang yang mungkin tak pernah kita temui. Facebook adalah alat untuk selalu terhubung dengan orang-orang yang kita kenal, tapi tidak bisa selalu bertemu dengan orang itu.
Sementara, kata Gladwell, tidak seperti itu dunia nyata bekerja. Dengan memberi contoh sebuah aksi unjuk rasa persamaan hak kulit hitam di Greensboro, North Carolina, tahun 1960, Gladwell mengatakan para pelaku unjuk rasa itu saling berhubungan dekat.
Hal itu tak terjadi di social media. Selain ikatannya lemah, social media juga semu. Ambil contoh, seperti diungkap Gladwell, halaman Facebook Save Darfur Coalition punya lebih dari 1 juta pengikut, tapi jumlah sumbangannya rata-rata hanya 9 sen.
Contoh lain, film Poconggg Juga Pocong yang berasal dari seleb Twitter paling tenar saat ini @Poconggg. Walau jumlah penonton filmnya saat ini mendekati 600 ribu penonton (dan dengan demikian terbilang film laris), masih kurang dari follower @Poconggg yang jumlahnya kini 1,6 juta akun Twitter.
Saya follow @Poconggg, tapi saya hingga sekarang tak tertarik menonton filmnya.
Mengapa?
“Ada banyak faktor yang membuat orang menonton film ke bioskop,” kata Yan Widjaya. Twitter, seperti iklan di TV, resensi di koran/majalah, adalah salah satu alat marketing.
Twitter memberi tahu kita apa yang sedang jadi perbincangan hangat orang-orang. Keputusan kita menonton film atau tidak, mungkin sesederhana karena diajak teman, mengisi waktu kosong saat liburan, atau sekadar mencari tempat pacaran. ***
(ade/ade)
No comments:
Post a Comment