Sejak kepergian Raja Dushwanta, Syakuntala merasa sangat sedih dan sering duduk melamun mengenang kepergian Sang Raja. Begawan Kanwa yang pada saat itu baru pulang dari hutan sambil membawa bunga dan kayu bakar, tidak ia hiraukan. Syakuntala hanya duduk diam membisu. Ia merasa bersalah dan malu, sehingga ia tidak berani menyongsong kedatangan begawan Kanwa, sebagaimana biasanya ia lakukan, jika Begawan Kanwa pulang dari bepergian. Ia mengira, pasti ayahnya akan marah.
Tetapi, dengan kekuatan batin dan ilmu yang dimilikinya, Begawan Kanwa tahu apa sebenarnya yang sudah dialami Syakuntala, meskipun Syakuntala hanya diam saja. Begawan Kanwa memandang putrinya ini dengan pandangan sebagai sorang bapak yang penuh kasih sayang. Dan dengan bijaksana dan dengan kelemah-lembutan, ia mencoba membesarkan hati Syakuntala dan memberinya nasehat-nasehat yang menyejukkan hati Syakuntala.
Begawan Kanwa berkata, ”Anakku Syakuntala, apa yang telah engkau lakukan tidaklah salah. Sesungguhnya, jika engkau, seorang wanita, telah menerima seorang laki-laki yang mencintaimu untuk menjadikanmu sebagai isterinya dalam suatu upacara gandharwa, itu sudah merupakan suatu upacara terbaik diantara cara-cara Ksatria. Dushwanta adalah seorang laki-laki yang baik, penuh tanggung-jawab dan berbudi tinggi. Janganlah engkau khawatir, anak yang kau kandung itu kelak akan menjadi manusia besar sepanjang sejarah. Ia akan menjadi raja besar, yang menguasai banyak lautan dan daratan. Ia akan memiliki balatentara yang kuat dan berlaksa-laksa, jumlahnya. Semua ini adalah sudah kehendak Dewata.”
Syakuntala bersujud sambil menangis dan menciumi kaki ayah angkatnya. Ia mohon agar resi Kanwa merestui pernikahannya dan juga mohon restu bagi Dushwanta, suaminya berserta dengan rakyat dan kerajaannya. Dengan penuh sukacita, resi Kanwa merestui perkawinan mereka dan juga merestui wangsa Puru agar kelak tetap dapat menjadi kerajaan yang kuat dan makmur.
Setelah sembilan bulan berlalu, dari hasil hubungannya dengan Raja Dushwanta, Syakuntala melahirkan seorang bayi laki-laki Pada saat berusia tiga tahun, ia sudah tampak sebagai seorang anak yang rupawan, tegap, sigap dan mampu menaklukkan binatang-binatang buas yang berkeliaran di sekitar pertapaan. Pantas sekali sebagai calon manusia besar. Oleh ibunya ia diberi nama Sarwadamana yang artinya ”manusia kuat penakluk binatang buas.” Tanda-tanda bahwa ia merupakan calon seorang penguasa dunia, tampak dari gambar cakra di telapak tangannya.
Karena tugas kewajiban serta kesibukkannya sebagai seorang raja, setelah pernikahannya dengan Syakuntala, semakin menigkat, memang ia tidak bisa lagi mengunjungi atau menjemput Syakuntala, sebagaimana yang telah ia janjikan.
Setelah beberapa tahun berselang, dan Sarwadamana tumbuh menjadi semakin besar, Prabu Dusmanta tak juga kunjung datang untuk menjemputnya. Bahkan berita atau pun utusan kerajaan tak juga kunjung datang memberi kabar. Apakah Prabu Dushwanta sudah lupa akan janjinya?
Syakuntala menjadi khawatir dan ia sedih memikirkan masa depan anaknya Melihat hal tersebut, Begawan Kanwa menyuruh Syakuntala bersama anaknya untuk pergi ke istana menemui Prabu Dushmanta. ”Anakku adalah tidak baik, jika seseorang wanita yang sudah menikah tetap tinggal bersama dengan orang tuanya. Ia tidak akan dapat menjalankan darmanya sebagai isteri dengan baik. Karena itu, pergilah ke istana dan temuilah Prabu Dushwanta, berkumpullah engkau dengan suamimu.” kata Resi Kanwa.
Karena memang tidak ada kepastian, maka Syakuntala bersama anaknya Sarwadamana, mohon restu dan berpamitan kepada Resi Kanwa untuk berankat menemui raja Dushwanta. Maka dengan disertai beberapa resi, mereka segera berangkat menuju ke negeri Hastinapura untuk menemui Prabu Dushwanta. Setelah sampai di gerbang istana Hastinapura, dada Syakuntala berdegub kencang. Dengan memberanikan diri, Syakuntala memohon kepada pengawal istana untuk mengijinkannya menghadap sang raja. Ia ingin segera menghadap Prabu Dushwanta. Ia ingin menyerahkan anaknya Sarwadamana untuk menjadi putra mahkota sebagaimana yang dijanjikan Raja Dushwanta.
Pada saat itu, Prabu Dushwanta sedang mengadakan pertemuan dengan para pejabat istana. Di depan banyak orang tersebut, Syakuntala kemudian menyatakan maksud dan tujuan kedatangannya ke istana. Ia berkata, ”Paduka yang mulia, hamba adalah Syakuntala, putri Resi Kanwa, isteri paduka dan ini adalah putra paduka hasil perkawinan gandarwa kita berdua. Sesuai janji yang telah Paduka ucapkan, angkatlah Sarwadamana sebagai putra mahkota Hastinapura untuk menggantikan Paduka nantinya.”
Mendengar pernyataan ini, Raja Dushwanta baru teringat akan janjinya yang telah ia ucapkan pada saat melakukan upacara gandhrawa dengan Syakuntala, tetapi ia malu ntuk mengakuinya, sehingga ia berusaha untuk menyangkal apa yang dikatakan Syakuntala. Bahkan ia pun menyangkal kalau ia sudah menikahi Syakuntala dan mempunyai anak darinya.
Dengan muka merah padam, menahan amarah berkatalah Prabu Dusmanta: ”Hai wanita tak tahu diri! Hentikan kata-katamu yang kurang ajar itu. Bagaimana mungkin aku seorang raja agung dapat beristerikan wanita hina seperti kamu, yang tidak jelas asal-usulnya.” Ia juga menghina dan mengusir Syakuntala, di depan banyak orang, yang hadir di situ.
Mendengar kata-kata itu Syakuntala kaget alang kepalang, bagaikan tersambar petir di siang bolong. Dadanya mendadak terasa berat, seolah tertimpa gunung runtuh. Mukanya berubah menjadi merah, menahan amarah. Sorot matanya tajam memandang ke Prabu Dushwanta. Bibirnya bergetar hebat menahan perasaan. Ia merasa sangat terpukul dan malu dengan penolakan dan penghinaan Raja Dushwanta. Tetapi karena terbiasa hidup dalam didikan Resi Kanwa, seorang Resi yang Agung Syakuntala, hanya bisa menunduk sedih dan menangis. Hatinya sakit bagai disayat-sayat
Dengan perasaan yang hancur, Syakuntala mencoba untuk menghimpun kekuatan batinnya dan mengatakan, ”Wahai Paduka yang mulia. Hanya orang yang rendah budinyalah, yang demikian mudah mnegingkari janjinya dan berdusta. Hamba yakin, hati nurani paduka pasti akan membenarkan kata-kata hamba. Tetapi mengapa Paduka, seorang Raja yang Agung, demikian mudahya menelan kata-katanya sendiri dan berdusta. Mengapa Paduka bersembunyi dibalik keindahan pakaian kebesaran dan mahkota Paduka?”
Setelah terdiam sejenak, Syakuntala melanjutkan, tapi sekarang ia tidak lagi menyebut Paduka atau Yang Mulia. Ia mengatakan, ”Andaikan engkau berkata benar, derajatmu tak akan turun. Orang yang dusta pada dasarnya telah mencuri atau merampok kebenaran dari dirinya sendiri. Memang engkau dapat menyembunyikan dustamu dariku atau orang lain, tapi tidakkah engkau ingat, Yang Mahatahu, Yang Maha Purba, tidak tidur. Ia tahu kedustaanmu.
”Aku adalah isterimu. Apakah salah, seorang isteri datang menemui suaminya, untuk dapat mengabdikan hidupnya pada suaminya. Apakah karena aku datang atas kemauanku sendiri, hingga engkau menolakku. Apakah engkau malu untuk mengakui kami, yang bukan berasal dari kasta bangsawan, sebagai isteri dan anakmu, dihadapan banyak orang?”
Mendengar apa yang dikatakan Syakuntala, Raja Dushwanta seolah-olah tidak memperdulikan semua yang dikatakan Syakuntala. Sikap ini semakin membuat Syakuntala merasa terhina, meskipun demikian ia kemudian melanjutkan kata-katanya.
”Seorang suami yang merasuk ke dalam tubuh isterinya, akan keluar dalam wujud seorang anak. Begitulah yang sejatinya terjadi. Itulah sebabnya seorang isteri disebut ”jaya”, yang berarti ”darimana seseorang dilahirkan”. Sebutan ini berasal dari para ahli kitab suci. Anak yang terlahir secara demikian akan menyelamatkan jiwa nenek moyangnya dari api neraka dan karena itu ia disebut ”putra” oleh sang Pencipta. Karena melalui anak inilah seseorang dapat menaklukkan ketiga dunia. Melalui anaklah seseorang dapat menikmati kebahagiaan dan kedamaian kekal bersama cucu-cucu dan cicit-cicitnya.”
Isteri yang sejati, akan mengabdikan seluruh hati, jiwa dan raganya bagi suaminya. Ia bagaikan belahan jiwa suaminya dan ia juga menjadi sahabat suaminya dikala susah dan senang. Ia menjadi sahabat yang paling utama, diantara sahabat-sahabat suaminya. Isteri adalah dasar agama, keberuntungan, dan hasrat-keinginan suaminya. Isteri adalah akar kelepasan untuk mencapai moksa, kebahagiaan hidup yang abadi. Isteri adalah ayah pada upacara keagamaan, ia akan menjadi ibu dikala sakit dan duka. Bagi seorang gembala, isteri adalah seorang penghibur dikala gundah. Karena itu, isteri adalah harta yang paling berharga yang dimiliki seorang lelaki.
Ketika suami meninggalkan dunia ini dan menghadap Batara Yama, isteri yang setia akan mengikutinya ke alam sana. Sebaliknya isteri yang meninggal terlebih dahulu, ia akan menantikan suaminya di alam sana.
Atas dasar itulah, tuanku, seorang lelaki menikahi seorang perempuan. Seorang suami akan menikmati keakaban bersama isterinya. Para bijak mengatakan bahwa pada hakekatnya seorang suami terlahir sebagai anak lelaki isterinya. Karena itu isteri yang melahirkan anak lelaki, haruslah dianggap sebagai ibu sendiri bagi suaminya. Jika ia memandang putranya, seorang suami seakan sedang berdiri di depan cermin dan menatap wajahnya sendiri. Lelaki yang sedang muram, sedih hatinya atau sakit, akan merasa segar dalam belaian isterinya, bagaikan oarng yang dahaga mendapatkan segelas air, bagaikan orang kegerahan yang mendapat siraman air yang sejuk. Tidak seorang lelaki pun, yang sekalipun dalam puncak kemarahannya, dibenarkan untuk melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan kepada isterinya.
Isteri ibarat tanah suci dimana suami dapat menyemaikan benihnya, Bahkan dewa pun tidak akan sanggung menciptakan seorang makhluk tanpa seorang wanita. Adakah kebahagiaan yang lebih besar daripada kebahagiaan seorang ayah sewaktu anak lelakinya menghambur ke dalam pelukannya?”
”Karena itu, wahai paduka raja, mengapa paduka bersikap tidak peduli pada anakmu yang datang kepadamu? Tidakkah paduka melihat, betapa sinar matanya sangat mengharapkan akan pelukan seorang ayah. Seekor semut saja dapat memindahkan telur-telurnya, tanpa harus merusaknya, mengapa engkau tidak dapat menyambut anak, buah hatimu sendiri? Mengapa engkau mengingkari darah dagingmu sendiri? Tidak engkau dapat merasakan betapa, belaian seorang wanita atau sejuk air yang jernih, tidaklah sebanding dengan kebahagiaan yang engkau rasakan saat engkau memeluk buah hatimu sendiri.”
”Paduka, terimalah dan sambutlah anak ini ke dalam pelukanmu, sebagai buah cinta kita. Ia akan melenyapkan segala kesusahanmu. Ia juga akan banyak melakukan upacara aswamedha bagi kita. Tidak engkau ingat, wahai sang raja, bahwa para pendeta akan mengucapkan doa-doa dari kitab suci weda, sewaktu mentahbiskan seorang anak. Sadarlah wahai paduka, ia adalah anak yang lahir deri benihmu, melalui rahimku. Lihatlah anak ini, wahai pduka. Tidakkah engkau dapat melihat bayang-bayangmu pada diri anak ini? Ibarat api pemujaan yang dinyalakan di rumah, demikianlah anak ini akan menjadi pelita hidupmu.
Dengan masih berurai airmata, Syakuntala juga menceritakan kembali bagaimana saat Raja Dushwanta mendekati dirinya dan mengajaknya untuk menjadi isterinya. Ia juga mengingatkan bagaimana, raja Dushwanta menanyakan tentang asal usulnya dan mendapat penjelasan dari seorang brahmana yang kebetulan singgah di pertapaan Resi Kanwa..
Setelah mendengar semua itu, raja Dushwanta menjawab, ”Hai Syakuntala, pandainya engkau berbicara. Apakah kepandaianmu hanya untuk membual. Bicaramu begitu banyak, tapi siapakah yang dapat mempercayaimu. Apakah ini hanya ungkapan rasa sakit hatimu, atas kemalangan yang menimpa dirimu? Apakah pantas seorang anak perempuan jalang sepertimu mengaku-ngaku anak seorang Batari Menaka, bidadari utama dan Wismamitra, pertapa yang mahasakti dan agung. Kata-katamu sungguh tidak pantas untuk didengar. Jadi, sekarang pergilah dari hadapanku dan jangan pernah kembali lagi.”
”Hai Dushwanta, manusia dapat dinilai dari hati dan lidahnya. Jika hati nurani dan ucapan yang keluar dari lidahnya, bersesuaian, kejujuran dan kebenaran ada pada orang itu. Tetapi, jika hati nurani seseorang tidak bersesuaian dengan mulutnya, orang itu tidak lebih baik dari serigala. Apa yang aku ucapkan adalah benar adanya. Aku adalah anak Dewi Menaka, dewi utama di Kahyangan. Ia turun ke mayapada ini karena diutus Dewa Indra. Jadi kelahiranku sebenarnya lebih mulia daripada kelahiranmu. Kau berjalan menginjak tanah di bumi, sedangkan aku dapat mengembara di langit biru. Aku juga dapat mengunjungi Kahyangan berjumpa dengan dewa Indra, Kuwera, Yama, Baruna atau dewa-dewa yang lain, kapan saja aku mau.
”Manusia buruk rupa selalu menganggap dirinya lebih tampan dari orang lain, sampai ia melihat wajahnya sendiri di depan cermin. Orang selalu menganggap dirinya lebih baik dari yang lain, sampai ia bercermin pada nuraninya sendiri. Orang yang jahat, busuk hatinya. Ia akan selalu mencari-cari kesalahan orang lain, Ia akan selalu berbicara jahat terhadap yang benar. Orang yang berhati busuk, tidak pernah melihat akan keburukannya sendiri, bagaikan babi berkubang lumpur, yang tidak peduli akan keburukannya dirinya sendiri.
Sebaliknya orang yang bersih hatinya, ia tidak suka membicarakan dan menyimpan keburukan orang lain. Ia tidak suka memfitnah. Ia tidak suka mencari-cari kesalahan orang lain. Orang yang baik tidak suka untuk membalas kejahatan orang lain, meskipun ia sendiri disakiti. Ia akan berbicara tentang hal yang benar, di mulutnya tidak ada dusta.
”Wahai Dushwanta, raja perkasa, ingatlah, nenek moyang kta mengajarkan, anak laki-laki adalah penerus kebesaran dinasti keluarga, penopang bangsa. Itulah sebabnya, upacara penyambutan kehadiran seorang anak laki-laki merupakan upacara utama dalam keagamaan. Oleh karena itu, hai Dushwanta, sekalipun engkau tidak menerima anak ini, ia akan tetap tumbuh sebagai Ksatria utama, penerus nama besar keluarga, panutan orang-orang bijak, pemuja kebajikan dan kebenaran.”
Setelah mengungkapkan seluruh isi hatinya tetapi ia tidak merasakan atau melihat adanya perubahan sikap dari Dushwanta, Syakuntala kemudian menghentikan bicaranya dan karena merasa sudah tidak ada gunanya berbicara lagi, Syakuntala memutuskan untuk segera undur dari dari hadapan Raja Dushwanta. Tapi sebelum hal itu dilakukannya, Syakuntala menyatakan, ”Sebagai seorang raja yang Agung, tidaklah pantas engkau mempertahankan kebohonganmu. Kebenaran lebih penting daripada seratus upacara korban suci. Tidak ada yang lebih tinggi daripada kebenaran. Wahai sang raja, Kebenaran tidak lain adalah Dia Yang Maha Benar. Kebenaran adalah sumpah yang tertinggi! Oleh sebab itu, janganlah Paduka mengingkari sumpah Paduka. Biarlah kebenaran ini bersatu dengan Paduka.”
Dengan masih dalam keadaan marah bercampur sedih, Syakuntala melanjutkan, ”Wahai Dushwanta, andai engkau mengindahkan kata-kataku ini, dengan kemauan sendiri aku akan undur diri dari hadapanmu. Tetapi ingatlah, Dushwanta, kelak anak inilah yang akan mengusai dunia yang dikelilingi empat samudera ini dan ia akan dihormati oleh raja-raja di segala penjuru dunia ini.
Setelah mengucapkan kata-kata yang keras ini, Syakuntala kemudian meninggalkan Raja Dushwanta. Pada saat itu, Raja Dushwanta yang masih merasa kesal karena ada orang yang menurutnya, mengaku-ngaku sebagai istrinya, menumpahkan kekesalannya dengan terus menggerutu.
Belum sampai Prabu Dushwanta menyelesaikan omelannya, begitu Syakuntala hilang dari pandangan, tiba-tiba ada suara gaib terdengar menggema di angkasa yang dapat didengar oleh Raja Dushwanta dan para menterinya,
”Seorang ibu ibarat kulit dari daging. Anak laki-laki berasal dan merupakan citra dari ayahnya. Karena itu, wahai Prabu Dusmanta, sayangilah putramu dan jangalah engkau menghina Syakuntala. Wahai raja yang mulia, anak yang berasal dari benihmu ini akan menyelamatkanmu dari kekuasaan Batara Yama dengan upacara-upacara keagamaan. Engkau adalah asal mula anak ini. Syakuntala tidak berdusta. Ingatlah, suami yang membagi dirinya menjadi dua, terlahir kembali melalui istrinya dalam wujud anak laki-laki.”
”Wahai Dushwanta, terimalah dan sayangilah anakmu ini, buah rahim dari Syakuntala. Bencana besar akan menghampirimu jika engkau menyia-nyiakan anak ini. Anak yang berjiwa agung ini akan dikenal dengan nama Bharata, yang artinya ’dipuja’!”
Setelah mengakhiri perkataannya, suara dari kahyanagan tersebut lenyap dan suasana menjadi senyap sejenak, karena Prabu Dushmanta dan para menterinya berdiri terbengong-bengong. Tetapi suasana ini tidak bertahan lama karena kemudian disusul dengan suara sorak-sorai para menteri dan orang-orang lain yang ikut mendengar suara itu.
Untuk menutupi rasa malunya, ia kemudian segera menyambut Syakuntala dan Sarwadamana ke dalam pelukannya. Prabu Dushmanta dan seluruh hadirin menjadi sangat gembira. Raja Dushmanta kemudian berkata, ”Kalian semua telah mendengar sabda dari langit tadi? Sebenarnya, bukannya aku tidak mau mengakui Syakuntala, sebagai isteriku dan anak ini sebagai anakku. Sejak Syakuntala berbicara tadi, sebenarnya aku sudah sangat yakin bahwa mereka adalah isteri dan anakku. Tetapi aku tidak mau gegabah untuk menerima begitu saja apa yang dikatakan Syakuntala, tentang dirinya dan anak ini. Sebab hal ini sangat menyangkut kelangsungan tahta Hastinapura. Tentu saja aku juga sangat menjaga kewibawaan dan kehormatan Kerajaan Hastinapura dan kehormatan Syakuntala yang akan menjadi permaisuriku dan anak ini yang akan menjadi penerus tahta Hastinapura.
Dengan semua kejadian ini, semua orang menjadi tahu siapa sebenarnya Syakuntala, calon permaisuriku dan siapa Sarwadamana, anakku, dan tidak lagi berprasangka kepada mereka. Suara dari langit dan apa yang dikatakan Syakuntala telah menjelaskan semuanya.”
”Karena ia adalah anakku, maka sesuai dengan apa yang telah aku janjikan, aku akan mengangkat Sarwadamana sebagai putra mahkota yang akan mewarisi tahtaku. Dan sejak sekarang, ia kuberi nama Bharata yang berarti ”sabda dari langit.” lanjut Dushwanta.
Raja Dushwanta kemudian mengatakan, ”Sekarang persiapkanlah upacara khusus bagi anakku, Sarwadamana, yaitu upacara yang dipersembahkan oleh seorang ayah untuk menyambut anaknya. Persiapkanlah pula upacara untuk menyambut Syakuntala, isteriku, yang akan kuangkat menjadi permaisuriku yang syah.” Rakyat Hastinapura sangat bersuka-cita menyambut kedatangan Syakuntala dan Sarwadamana. Kedua upacara itu berlangsung dengan sangat meriah, Sarwadamana kemudian dinobatkan menjadi Adipati dan Putra Mahkota oleh baginda.
Mulai saat itulah Bharata menjadi raja muda di Hastinapura dan menjadi pemimpin besar dari bangsa yang besar. Bharata, seterusnya menurunkan darah Bharata yang besar dan megah sepanjang jaman. Bharata berarti Mahatman atau Terpuji.
Setelah Raja Dushwanta turun tahta, Sang Bharata resmi menggantikan ayahandanya. Selama masa pemerintahannya ia banyak melakukan peperangan untuk memperluas wilayah kekuasaanya. Setelah ditaklukkan, wilayah kekuasaannya disebut Bharatawarsha yang berarti wilayah kekuasaan Maharaja Bharata.
Sang Bharata menurunkan Sang Hasti, yang kemudian mendirikan sebuah pusat pemerintahan bernama Hastinapura. Sang Hasti menurunkan para Raja Hastinapura. Dari keluarga tersebut, lahirlah Sang Kuru, yang menguasai dan mensucikan sebuah daerah yang luas dan dikenal sebagai Kurukshetra. Sang Kuru menurunkan Dinasti Kuru atau Wangsa Kaurawa, dan dalam dinasti tersebut, lahirlah Pratipa, yang menjadi ayah Prabu Santanu, leluhur Pandawa dan Korawa.
*Sumber : http://smart-pustaka.blogspot.com/search/label/Mahabharata*