Kisah Pahlawan Indonesia Tuanku Imam Bonjol
Kisah Pahlawan Indonesia Tuanku Imam Bonjol - Selama
62 tahun Indonesia merdeka, nama Tuanku Imam Bonjol hadir di ruang
publik bangsa: sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas,
bahkan di lembaran Rp 5.000 keluaran Bank Indonesia 6 November 2001.
Kekejaman Paderi disorot dengan
diterbitkannya buku MO Parlindungan, Pongkinangolngolan Sinamabela Gelar
Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-1833
(2006) (Edisi pertama terbit 1964, yang telah dikritisi Hamka, 1974),
kemudian menyusul karya Basyral Hamidy Harahap, Greget Tuanku Rao
(2007).
Kedua penulisnya, kebetulan dari
Tanah Batak, menceritakan penderitaan nenek moyangnya dan orang Batak
umumnya selama serangan tentara Paderi 1816-1833 di daerah Mandailing,
Bakkara, dan sekitarnya (Tempo, Oktober 2007).
Mitos kepahlawanan
Munculnya koreksi terhadap wacana
sejarah Indonesia belakangan ini mencuatkan kritisisme terhadap konsep
pahlawan nasional. Kaum intelektual dan akademis, khususnya sejarawan,
adalah pihak yang paling bertanggung jawab jika evaluasi wacana historis
itu hanya mengakibatkan munculnya friksi di tingkat dasar yang
berpotensi memecah belah bangsa ini.
Ujung pena kaum akademis harus
tajam, tetapi teks-teks hasil torehannya seyogianya tidak mengandung
“hawa panas”. Itu sebabnya dalam tradisi akademis, kata-kata bernuansa
subyektif dalam teks ilmiah harus disingkirkan si penulis.
Setiap generasi berhak
menafsirkan sejarah (bangsa)-nya sendiri. Namun, generasi baru bangsa
ini—yang hidup dalam imaji globalisme—harus menyadari, negara-bangsa apa
pun di dunia memerlukan mitos-mitos pengukuhan. Mitos pengukuhan itu
tidak buruk. Ia adalah unsur penting yang di-ada-kan sebagai “perekat”
bangsa. Sosok pahlawan nasional, seperti Pangeran Diponegoro, Sultan
Hasanuddin, Sisingamangaraja XII, juga TIB, dan lainnya adalah bagian
dari mitos pengukuhan bangsa Indonesia.
Jeffrey Hadler dalam “An History
of Violence and Secular State in Indonesia: Tuanku Imam Bondjol and Uses
of History” (akan terbit dalam Journal of Asian Studies, 2008)
menunjukkan, kepahlawanan TIB telah dibentuk sejak awal kemerdekaan
hingga zaman Orde Baru, setidaknya terkait tiga kepentingan.
Pertama, menciptakan mitos tokoh hero yang gigih melawan Belanda sebagai bagian wacana historis pemersatu bangsa.
Kedua, mengeliminasi wacana radikalisme Islam dalam upaya menciptakan negara-bangsa yang toleran terhadap keragaman agama dan budaya.
Ketiga,
“merangkul” kembali etnis Minang ke haribaan Indonesia yang telah
mendapat stigma negatif dalam pandangan pusat akibat peristiwa PRRI.
Kita tak yakin, sudah adakah biji
zarah keindonesiaan di zaman perjuangan TIB dan tokoh lokal lain yang
hidup sezaman dengannya, yang kini dikenal sebagai pahlawan nasional.
Kita juga tahu pada zaman itu
perbudakan adalah bagian sistem sosial dan beberapa kerajaan tradisional
Nusantara melakukan ekspansi teritorial dengan menyerang beberapa
kerajaan tetangga. Para pemimpin lokal berperang melawan Belanda karena
didorong semangat kedaerahan, bahkan mungkin dilatarbelakangi keinginan
untuk mempertahankan hegemoni sebagai penguasa yang mendapat saingan
akibat kedatangan bangsa Barat. Namun, mereka akhirnya menjadi pahlawan
nasional karena bangsa memerlukan mitos pemersatu.
Bukan manusia sempurna
Tak dapat dimungkiri, Perang
Paderi meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam memori
bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis
yang berbunuhan adalah sesama orang Minangkabau dan Mandailing atau
Batak umumnya.
Campur tangan Belanda dalam
perang itu ditandai dengan penyerangan Simawang dan Sulit Air oleh
pasukan Kapten Goffinet dan Kapten Dienema awal April 1821 atas perintah
Residen James du Puy di Padang. Kompeni melibatkan diri dalam perang
itu karena “diundang” kaum Adat.
Pada 21 Februari 1821 mereka
resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman Minangkabau) kepada Kompeni
dalam perjanjian yang diteken di Padang, sebagai kompensasi kepada
Belanda yang bersedia membantu melawan kaum Paderi. Ikut “mengundang”
sisa keluarga Dinasti Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Muningsyah
yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan Paderi yang dipimpin Tuanku
Pasaman di Koto Tangah, dekat Batu Sangkar, pada 1815 (bukan 1803
seperti disebut Parlindungan, 2007:136-41).
Namun, sejak awal 1833 perang
berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Agama melawan Belanda.
Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB)— transliterasinya oleh Sjafnir Aboe
Nain (Padang: PPIM, 2004), sebuah sumber pribumi yang penting tentang
Perang Paderi yang cenderung diabaikan sejarawan selama ini—mencatat,
bagaimana kedua pihak bahu-membahu melawan Belanda.
Pihak-pihak yang semula
bertentangan akhirnya bersatu melawan Belanda. Di ujung penyesalan
muncul kesadaran, mengundang Belanda dalam konflik justru menyengsarakan
masyarakat Minangkabau sendiri.
Dalam MTIB, terefleksi rasa
penyesalan TIB atas tindakan kaum Paderi atas sesama orang Minang dan
Mandailing. TIB sadar, perjuangannya sudah melenceng dari ajaran agama.
“Adapun hukum Kitabullah banyaklah yang terlampau dek oleh kita.
Bagaimana pikiran kita?” (Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah
terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran kalian?), tulis TIB dalam MTIB
(hal 39).
Penyesalan dan perjuangan
heroik TIB bersama pengikutnya melawan Belanda yang mengepung Bonjol
dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus
1837)—seperti rinci dilaporkan De Salis dalam Het einde Padri Oorlog:
Het beleg en de vermeestering van Bondjol 1834-1837: Een
bronnenpublicatie [Akhir Perang Paderi: Pengepungan dan Perampasan
Bonjol 1834-1837; Sebuah Publikasi Sumber] (2004): 59-183—mungkin dapat
dijadikan pertimbangan untuk memberi maaf bagi kesalahan dan kekhilafan
yang telah diperbuat TIB.
Kini bangsa inilah yang harus
menentukan, apakah TIB akan tetap ditempatkan atau diturunkan dari
“tandu kepahlawanan nasional” yang telah “diarak” oleh generasi
terdahulu bangsa ini dalam kolektif memori mereka. (Kompas 10/11/2007
Oleh Suryadi, Dosen dan Peneliti pada Opleiding Talen en Culturen van
Zuidoost-Azië en Oceanië, Universiteit Leiden, Belanda).
sumber : http://rahasiaya.blogspot.com/2013/04/kisah-pahlawan-indonesia-tuanku-imam.html
No comments:
Post a Comment